CIKAL BAKAL DESA JATISABA
Awal abad ke 17 atau
pada tahun 1614, raja Mataram Kanjeng Sinuwun Sultan Agung Hanyakrakusuma yang
bernama asli Raden Mas Jatmika atau dikenal juga dengan nama Raden Mas Rangsang
atau yang bergelar Prabu Pandita Sultan Agung durrahman Sayyidin Pranatagama
putra dari Prabu Hanyakrawati yang meneruskan tahta ayahandanya Sultan
Sutawijaya (Raja Mataram 1) dengan Ratu Mas Adi Dyah Banawati, putri Sultan
Pajang yaitu Pangeran Benowo, ketika itu memberikan perintah kepada para Hadipati
dan Senopati untuk membuka desa-desa baru, terkait dengan rencana beliau yaitu
akan melakukan penyerangan besar-besaran terhadap benteng VOC Belanda di
Batavia (Jayakarta) jika sudah berhasil menaklukan daerah-daerah lain di
seluruh pulau Jawa dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaan Mataram yang
berpusat di kota Gedhe.
Keberadaan VOC Belanda
di Batavia saat itu oleh Sultan Agung dianggap menjadi penghalang bagi upaya
beliau untuk menaklukan Banten sehingga harus diatasi terlebih dahulu. Pada
mulanya Sultan Agung mencoba mengirim Kyai Rangga (bupati Tegal) sebagai duta
ke Batavia untuk menyampaikan tawaran dengan syarat-syarat tertentu, yaitu
apabila VOC bersedia membantu Mataram dalam penyerbuan ke Banten, maka VOC
diperbolehkan membeli beras sebanyak-banyaknya kepada Mataram, tetapi penawaran
tersebut ditolak oleh pihak VOC sehingga beliau memutuskan untuk berperang
melawan VOC Belanda.
Adapun tujuan
dibukanya desa-desa adalah untuk dijadikan kantong-kantong perbekalan dan
tempat persinggahan bagi pasukan Mataram baik pada saat keberangkatan maupun
kepulangan mereka dari Batavia.
Raden Jati Anom atau
mbah Semutirta adalah salah satu orang yang mendapat perintah itu melalui
Senopati Mangkubumi dari kdemangan Pasir Luhur dan beliau mengambil lokasi di
hutan Bandhayuda, yaitu sbelah barat hutan Mangli kemudian di buka dan
dijadikan sebuah desa. Selanjutnya, oleh generasi berikutnya dikatakan “Pesabane Raden Jati Anom lelabetan marang
Kanjeng Sinuwun kawastanan desa Jatisaba”, atau tempat dimana Raden Jati
Anom beraktifitas membabad hutan dan menjadikannya sebuah desa dan tempat itu
dinamakan desa Jatisaba.
Raden Jati Anom
dititahkan untuk mendirikan sebuah desa dan menciptakan pranatan-nya sesuai dengan sistem pemerintahan kesultanan Mataram
serta membuka lahan-lahan pertanian dan perkebunan untuk mewujudkan kemakmuran
rakyat serta menyiapkan perbekalan bagi pasukan Mataram yang akan berangkat ke
Batavia.
Sehubungan kapasitas
beliau juga seorang prajurit maka beliaupun wajib ikut berperang meninggalkan
isteri dan anak-anaknya bersama
prajurit-prajurit yang lain dalam serangan besar-besaran. Mereka berangkat melalui jalur gerilya melewati
bukit dan hutan yang membentang luas mulai dari wilayah Banyumas sampai ke
daerah Sumedang.
Setelah sampai di
Sumedang, pasukan beliau bergabung dengan pasukan lain yang dipimpin oleh
Pangeran Juminah, Pangeran Singaranu, Dipati Puger, dan Dipati Purbaya.
Kemudian melanjutkan perjalanan sampai ke Batavia untuk bergabung lagi dengan
pasukan angkatan laut yang dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso sebanyak 80.000
prajurit dengan 56 buah kapal yang sudah sampai terlebih dahulu.
Dalam serangan ini,
tembok-tembok kota diruntuhkan dan benteng-benteng kecil dapat direbut sehingga
serdadu Kompeni hanya bisa bertahan di dalam benteng induk di tepi sungai
Ciliwung. Untuk memaksa agar mereka keluar dari benteng, maka Tumenggung Sura
Agul-agul memerintakan seluruh pasukannya untuk membendung sungai Ciliwung dan
mengalihkan alirannya ke tempat lain agar situasi di dalam benteng mengalami kesulitan
air, bahkan berjangkit penyakit kolera, sampai-sampai Gubernur Jendral Jan
Piterszoon Coen (JP Coen) mati terkena penyakit itu.
Namun pertempuran yang
terjadi selama hampir lima tahun itu benar-benar telah menguras dana, tenaga,
kecerdikan, keberanian dan perbekalan, sehingga banyak pasukan Mataram yang
mengalami kelaparan, terkena penyakit bahkan banyak pula yang meninggalkan
barisan sehingga kekuatannya menjadi sangat lemah dan penyerangan inipun
kembali mengalami kegagalan. Akhirnya pada tanggal 7 oktober 1629 seluruh
pasukan kembali ke Mataram dengan meninggalkan prajurit-prajurit yang mati dan
menderita sakit di perjalanan.
Tanggal 16 Oktober
1629 Raden Jati Anomatau mbah Semutirta bersama sebagian pasukan lain yang
masih hidup kembali lagi ke desa ini, dan betapa berdukanya perasaan beliau
saat itu karena anak satu-satunya yang hidup hingga usia dewasa menghilang dan
ditemukan sudah tewas dalam kondisi jasadnya terpisah-pisah satu sama lain.
Kekecewaan yang beliau rasakan menjadi alasan pembenaran atas sikap dan
kemarahannya sehingga desa ini ditutup dengan menggunakan Semu Tirta atau Banyu
pengamun-amun atau kabut ghaib. Akan
tetapi hal tersebut justru mendatangkan dampak positif bagi pasukan Mataram
yang kembali lagi dan bersembunyi di desa ini sehingga mereka terselamatkan
dari pengejaran dan penyisiran tentara VOC Belanda yang dilakukan pada
tahun-tahun berikutnya karena posisi mereka tidak terlihat oleh mata
orang-orang bule di kala itu. Dalam
pernyataannya, Raden Jati Anom berkata :
“Suk kapan yen tedhak turunku wis ana kang ngopeni marang tetilasku kanthi
dedonga marang ngarsane Gusti Allah mangka banyu pengamun-amun bakal kasingkap
dewe”. Artinya, jika suatu ketika sudah ada diantara keturunanku yang
merawat kuburku dengan do’a do’a kepada Allah SWT, maka kabut ghaib akan
tersingkap dengan sendirinya.
Setelah seratus hari
dari Batvia dan hari kematian anaknya, R. Jati Anom mengundang semua warga
untuk berdoa memohon ampunan bagi anaknya yang telah tiada dan memohon
keselamatan bagi seluruh warga. Di dalam acara selamatan tersebut, dibicarakan pula mengenai langkah-langkah
selanjutnya paska peperangan dan dikatakan bahwa R. Jati Anom meminta kepada
warganya untuk tetap bekerja, bergotong royong membuat pemukiman-pemukiman baru
memperluas lahan-lahan pertanian guna menciptakan kemakmuran sambil menunggu
datangnya perintah lanjutan (dawuh) lanjutan
dari Kanjeng Sinuwun. Di dalam acara itu, segenap warga sepakat dan meminta
kesediaan R. Jati Anom untuk menjadi pamong. Maka pada saat itulah resmilah
berdiri sebuah komunitas baru dengan sistem Kepamongan yang merupakan cikal
bakal lahirnya sistem pemerintahan di Jatisaba.
Setelah kekalahan di
Batavia pada tahun 1631, Sumedang tidak
mau tunduk kepada Mataram maka pada tahun 1632, R. Jati Anom dipanggil
dan diperintah lagi oleh Senopati Mangkubumi untuk memimpin pasukan Pasir
Luhur, guna membantu Sultan Cirebon. Melihat kecerdikan dan ketangkasan R. Jati
Anom ketika itu Sultan Cirebon merasa sangat terkesan sehingga memintanya untuk
tetap tinggal di Kesultanan Cirebon dan kepadanya akan diberikan gelar
atau jabatan sebagai senopati. Akan
tetapi ketika hal itu disampaikan kepada gurunya(Kyai Sambarta), beliau berkata
: “Sliramu muliha marang Bandhayuda,
jejibahmu ora kejaba anggawe kasantosan ana ngalas iku, mula sliramu ndak
paringi asma Abdul Jabbar”. Artinya, pulanglah kamu ke hutan Bandhayuda,
kewajibanmu tiada lain untuk menciptakan kemakmuran di hutan itu, oleh
karenanya aku namakan kamu Abdul Jabbar (hamba
Allah yang menciptakan kemakmuran). Mendengar ucapan gurunya, R. Jati Anom
menangis dan menyesali diri, mengapa dirinya sampai tertarik kepada sebuah
kedudukan padahal umatnya yang berada di tengah hutan sangat bergantung
padanya. Maka beliaupun menyampaikan penolakan atas tawaran Sultan Cirebon.
Raden Jati Anom
dimakamkan di kuburan Tenggulun atau berada di tengah-tengah desa Jatisaba. Di
komplek makam R. Jati Anom terdapat sebuah pohon beringin besar yang tumbang
pada tahun 1976. Pohon beringin tersebut ukuran besarnya hampir sama dengan
pohon beringin yang ada di setiap sudut alun-alun Banyumas. Hal tersebut juga
menjadi sebuah isyarat bahwa dibukanya desa Jatisaba oleh R. Jati Anom selang
waktu skitar 47 tahun setelah berdirinya Kabupaten Banyumas pada hari Jum’at
Kliwon tanggal 6 April 1582 M, tepatnya pada tanggal 25 Januari 1630 disebut
sebagai hari jadi desa Jatisaba.
By : ummy … IX D SMc Cilongok
![]() |



Artikele apik kang
BalasHapusSing nulis Guru MIM apa ya...? Gambare mung MIM tok...
BalasHapus